Baca Kabar ini juga . . .
![]() |
Sumber gambar: Dakta.com |
oleh:
Muh. Fadhir A.I. Lamase*
“Gerakanku lama, gerakanku kaku, gerakanku butuh perubahan”. Mungkin itulah yang
akan keluar dari mulut seorang kader Ikatan ketika mempersoalkan kembali
kondisinya hari ini. Semua itu dapat dilihat dengan adanya kontras di
setiap gerakan dari tingkat komisariat, cabang, daerah maupun pusat. Suatu kondisi yang memperlihatkan berbagai warna gerakan lama. Suatu warna yang terlihat usang dan tak menggairahkan untuk memacu spirit juang suatu gerakan.
Maka, sudah seharusnya kita merubah pola gerakan
kita yang katanya lama, kaku, dan tanpa perubahan itu dengan membangun
kembali daya kritis dan daya saing dalam tubuh Ikatan. Yaitu lewat jalan membangun suatu dialektika dari
pemikiran-pemikiran kader.
Sejarah telah membuktikan, di tiap perubahan
suatu peradaban kemanusiaan, senantiasa dimulai oleh mereka para
pemikir yang resah dan gelisah melihat kondisi zamannya. Salah satu
di antaranya Rane Descartes, yang resah dan ragu dengan buku-buku pelajarannya dan
para gurunya. Sehingga dia mengambil langkah untuk mencari kebenaran belajar
dari “guru kehidupan”-nya: pengalaman. Tentu lewat jalan kemampuan pikirannya.
Descartes lantas menemukan
suatu kebenaran yang diyakininya. Dalam sejarah, Ia kemudian tercatat sebagai
salah satu pemikir abad pertengahan yang mengubah corak pemikiran dari
teosentris menjadi antroposentris. Prinsip tertinggi filsafat Descartes ialah
rasio atau kesadaran diri.
Itulah buah dari seorang pemikir yang kemudian
menjadi suatu sistem yang begitu abstrak, tetapi membawa perubahan bagi seluruh
arah kemodernan. Dari sejarah Descartes tadi, dapat kita jadikan
pembelajaran agar mampu menciptakan buah pemikiran kader dalam upaya membentuk
pola gerakan baru yang lebih baik.
Tugas dari seorang kader tidak hanya mampu
memahani identitas Ikatan dan Nilai Dasar Ikatan (NDI), melainkan mampu memfungsikakannya sebagai pijakan yang nantinya ditransformasikan
serta diramu menjadi semangat perjuangan. Yakni dengan memadukan antara nilai dan realitas yang ada, sehingga mampu
membawa perubahan dalam gerakan kita, dan tidak kaku menghadapi tantangan zaman modern. Karena
kita semua Ingin merawat Ikatan dengan bijaksana mengunakan rasio akal sehat.
Intelektual profetik menjadi simbolis agung dalam tubuh Ikatan.
Muhammad Abdul Halim Sani dalam bukunya Manifesto Gerakan Intelektual Progetik
(MGIP) -yang geneologinya berasal dari gagasan Kuntowijoyo- Istilah intelektual
profetik Ikatan dimaksudkan bagi mereka yang memiliki kesadaran akan diri, alam dan Tuhan. Suatu kesadaran menjadi dasar
dalam berbagai aspek untuk bergerak. Kesadaran yang dimaksud merupakan
kesadaran yang harus jernih. Berangkat dari akal budi sebagai alat untuk meramu suatu
gagasan, sehingga dapat melahirkan pengetahuan yang benar. Karena dengan
pengetahuan yang benar akan menuntun pada tindakan yang benar. Demikian kata
Socrates.
Yang menjadi persoalan hari ini ialah, masih
banyaknya kader yang belum mampu menafsirkan bahkan mengetahui makna sepenuhnya
terkait Intelektual Profetik. Suatu hal yang seharusnya telah terfamiliarisasi
pada diri setiap kader, dan telah ditafsirkan dalam konfigurasi tindakan.
Yakni berupa terciptanya daya kritis dalam hal menyikapi setiap persoalan. Baik
dalam skala mikro (internal Ikatan), maupun makro (kondisi Masyarakat). Dengan
menisbatkan seluruh potensi yang dimiliki, atas nama kemanusiaan dengan
melakukan humanisasi dan liberasi.
Karena generasi yang berada pada ruang milenium
ke tiga ini bertindak dehumanisasi -bisa kita melihat dari kaca mata mikro-, yakni dengan kondisi terlalu banyaknya generasi bangsa yang terbuai asyik
dengan dunianya sendiri. Yang menjadikannya sangat individualistik dan
melupakan lingkungan sosialnya. Dengan kondisi begitulah maka panggilan
kemanusiaan telah bergumam untuk menyerukan kepada kita; orang yang sadar untuk menyadarkan mereka.
Ciri Intelektual profetik yang lain ialah ketika dia mampu menciptakan
analisis sosial dengan ruh perjuangannya berdasar dari spirit kenabian. Yang
nantinya mampu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori
sosial. Karena seorang intelektual yang baik, yakni ketika dia mampu melahirkan
karya-karya raksasa dan membawa arah perubahan zaman menjadi lebih baik.
* ) Penulis
merupakan kader PK IMM Fascho FEB Universitas Muhammadiyah Malang
0 Komentar untuk "Merawat Ikatan dengan Rasio"